Arifin Al Alamudi : Jurnaslime yang Tidak Pernah Mati!
"Satu tulisan lebih bermakna daripada seribu kali turun aksi demonstrasi," begitu kata Arifin Al Alamudi, News Editor IDN Times ke Loker ID. Bersama Loker ID, Arifin cerita mengenai perjalanan kariernya terjun ke dunia jurnalisme selama lebih kurang belasan tahun. Tidak hanya menulis, Arifin juga berkarya melalui fotografi jurnalistik. Buatnya pribadi, karya tulis dan fotografi itu abadi.
Banyak penulis dan fotografer sudah mati beratus tahun lalu, tapi hingga kini manusia yang hidup masih ingat dengan karyanya. "Jadi untuk Gen Z, menulislah apa yang kamu suka, dan memotretlah apa yang kamu suka. Suatu saat kebiasaan itu akan membawamu menghasilkan karya yang memiliki dampak dan bermanfaat untuk orang banyak," pesan Arifin.
Seperti apa perjalanan karier Arifin, bagaimana ia memadukan foto dan tulisan, serta pendapatnya mengenai perkembangan jurnalisme kini dan nanti? Buat Anda yang tertarik dengan perkembangan industri media masa kini, wajib baca tulisan ini nih!
Kapan pertama kali Anda tertarik dengan dunia jurnalistik dan fotografi? Apa yang memicu ketertarikan tersebut?
Sebenarnya punya ketertarikan di dunia jurnalistik dan fotografi sejak SMA, periode tahun 2002-2004 jadi pengurus OSIS di bidang publikasi dan mading. Jadi rutin mengisi opini, puisi, dan artikel-artikel lain untuk kebutuhan mading. Waktu SPMB pun pilihan pertamanya adalah Jurusan Ilmu Komunikasi USU, sedangkan pilihan kedua adalah Ilmu Politik USU. Namun yang lulus adalah pilihan kedua.
Meski begitu, tak surut niat belajar jurnalistik. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang saya pilih di kuliah semester 1 adalah Suara USU. Namun karena jadwal kuliah yang kurang sejalan dengan jadwal kegiatan UKM Suara USU, akhirnya hanya mampu 1 tahun bertahan. Lalu memilih organisasi ekstrakampus, HMI. Di HMI masuk ke biro jurnalistik. Dari Suara USU dan Biro Jurnalistik HMI ini jadi mengenal kamera dari teman-teman. Sedangkan saya belum punya kamera saat itu, hanya meminjam atau bergantian memakai kamera jika ada demontrasi mahasiswa.
Pada 2007, bahan skripsi saya yang berjudul Neoliberalisme Pendidikan saya ikutkan lomba tulisan tingkat kampus USU dan berhasil menjadi juara pertama. Pertama kali mengikuti lomba tulisan langsung juara, ini menjadi lecutan bagi saya dan membakar api semangat untuk terus menulis.
Tahun 2008, selepas dari jabatan pengurus di HMI, saya bekerja sambilan di NGO KontraS Sumut sembari menyelesaikan perkuliahan. Di KontraS kemampuan menulis dan fotografi makin terasah. Bekerja di bidang data dan dokumentasi membuat saya belajar membuat press release dan mendokumentasikan setiap kegiatan KontraS dengan kamera pocket yang kualitasnya sudah cukup bagus pada masa itu.
Bulan Juni, Tahun 2010 saya resmi bergabung di Harian Tribun Medan. Selama 3 bulan menjalani pelatihan, semua kemampuan diasah, dari menulis, fotografi, hingga video. Karena Tribun sebagai media dengan multiplatform, mengharuskan jurnalisnya memiliki tiga kemampuan itu. Dari sini kualitas tulisan dan kemampuan fotografi meningkat, karena semakin paham, maka saya semakin tertarik.
Awalnya memotret menggunakan kamera kantor, akhirnya saya membeli kamera sendiri. Canon DSLR 20D adalah kamera DSLR pertama saya.
Siapa atau apa yang menjadi inspirasi terbesar Anda dalam mengejar kedua minat ini?
Dalam hal tulisan saya sangat terinspirasi dengan seorang bocah bernama M. Izza Ahsin. Pada tahun 2007, ia yang masih berusia 15 tahun sudah menerbitkan buku pertamanya berjudul “Dunia Tanpa Sekolah”. Saat 2007 usia saya 21 tahun, belum pernah membuat 1 cerpen pun. Isi buku Izza yang menceritakan tentang dirinya ‘terpenjara’ dalam sistem Pendidikan sekolah formal (padahal dia anak guru), menjadi inspirasi saya juga dalam menulis skripsi “Neoliberalisme Pendidikan”. Di masa itu, setiap ada teman-teman ulang tahun selalu saya hadiahkan buku itu dan hingga sekarang buku itu masih ada di lemari saya.
Inspirasi lain dalam tulisan adalah penulis buku-buku yang genre-nya humor: Pidi Baiq dan Raditya Dika. Jauh hari sebelum Pidi Baiq terkenal dengan novel dan film “Dilan”-nya, saya sudah mengaguminya sebagai penulis buku "Drunken Monster", "Drunken Molen", dan "Drunken Mama". Bahkan ada bukunya yang sudah saya baca sejak SMA.
Lagu-lagu Pidi Baiq bersama band The Panas Dalam juga saya suka. Saking nge-fansnya, saya nonton konsernya Pidi Baiq di Medan sekitar 2012. Sejak saat itu saya sudah beberapa kali ketemu Mas Pidi. Pernah mampir ke kafenya di Bandung, pernah nonton bareng tim sepakbola FC Barcelona di Bandung bareng, dari pertemuan-pertemuan ini saya tahu Mas Pidi bakal bikin film "Dilan" dan "Koboy Kampus".
Begitu juga dengan Raditya Dika, jauh hari sebelum ia menjadi komika dan pemain film, saya sudah mengagumi bukunya berjudul "Kambing Jantan", "Cinta Brontosaurus", "Manusia Setengah Salmon", dan "Marmut Merah Jambu". Namun sayang, semesta baru satu kali mempertemukan kami.
Kalau untuk fotografi, inspirasi terbesar saya adalah Oscar Motuloh (ANTARA). Tahun 2014 saya menjuarai lomba foto nasional dengan salah satunya jurinya adalah Bang Oscar. Kami dipertemukan kali pertama di Museum Sampoerna. Sungguh perasaan yang luar biasa. Sejak saat itu kami jadi sering bertemu. Meski sudah pensiun dari ANTARA, saya masih mengaguminya. Kali terakhir bertemu, kami hunting foto bareng di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Apakah ada jurusan atau mata kuliah tertentu yang sangat membantu karier Anda saat ini?
Pendidikan formal sarjana saya adalah Ilmu Politik. Di satu sisi, gak ada kaitannya dengan jurnalistik. Tapi keahlian saya di bidang politik membantu karier saya di dunia jurnalistik. Di awal-awal karir sebagai jurnalis saya menempati desk politik. Latar belakangan kuliah membuat koneksi saya di dunia politik juga lebih luas. Sehingga saya dianggap ‘ujung tombak’ di bidang penulisan politik.
Sekitar 2010-2014 saya melakukan liputan Pilkada di berbagai kota: Medan, Siantar, Simalungun, Tebingtinggi, hingga Padangsidimpuan, termasuk Pilkada Sumut.
Ketika mendapatkan fellowship S-2 dari BRI tahun 2022, saya tetap memilih jurusan Magister Ilmu Politik. Hingga kini kerap diundang jadi pembicara kepemiluan yang berkaitan dengan tema pemberitaan dan political marketing.
Ceritakan sedikit tentang pengalaman kerja Anda sebelum bergabung dengan IDN Times. Bagaimana pengalaman-pengalaman tersebut membentuk Anda sebagai seorang jurnalis dan fotografer?
Sebelum bergabung di IDN Times, 8 tahun berkarier di Harian Tribun Medan adalah ‘segalanya’ yang membentuk yang sekarang ini. Pemahaman di masa kuliah dan kerja NGO seolah dihapuskan dalam ingatan, karena Tribun Medan punya ‘style’ sendiri dalam pemberitaan.
Tribun Medan membuat saya berani menantang diri untuk meliput desk apa saja selain politik. Otomotif, Hiburan, Kesehatan, dan Ekonomi, Investigasi, dan lainnya semua sudah pernah saya jalani. Bahkan saya tertantang untuk menghasilkan foto berita yang layak jadi foto headline koran, sehingga tidak perlu menunggu fotografer.
Berkat kegigihan itu, karier juga meningkat. Berbagai tantangan jabatan saya lakoni, dari asisten redaktur, redaktur online, hingga redaktur cetak.
Mengapa Anda memilih untuk menggabungkan jurnalistik dan fotografi dalam satu karier? Bagaimana Anda melihat sinergi antara kedua bidang ini?
Dalam dunia jurnalistik, bagi saya, artikel dan foto adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Foto Tunggal akan sulit dipahami tanpa berita, sedangkan berita tanpa foto akan terasa kurang lengkap. Bahkan di zaman digital ini, foto tanpa berita itu disebut hoaks.
Jadi sejak awal saya berkarier di dunia jurnalistik, tidak pernah saya memisahkan dua profesi itu. Karena itu adalah satu profesi bernama pewarta. Terlebih di media online, setiap berita harus dilengkapi foto, walaupun hanya foto dari smartphone, tetap itu disebut karya fotografi jurnalistik.
Saya merasakan sendiri, reporter yang punya keahlian fotografi lebih baik dibanding reporter lain di kantor media akan diutamakan untuk peliputan luar kota dan maupun luar negeri. Kantor akan berhitung, daripada mengirimkan 1 reporter dan 1 fotografer, lebih baik mengirimkan 1 reporter yang punya kemampuan fotografi yang baik. Biasanyanya, reporter yang punya kemampuan fotografi baik, maka akan bisa membuat video dengan angle yang menarik juga. Bayangkan 1 orang bisa mengerjakan 3 pekerjaan, kalau istilah anak zaman now, karyawan multitasking.
Apa yang menurut Anda menjadi tantangan terbesar dalam menggabungkan kedua minat ini? Bagaimana Anda mengatasinya?
Menggabungkan Jurnalistik dan Fotografi bukan lagi tantangan, tapi keharusan. Karena berita tanpa foto bakal disebut hoaks. Jadi reporter sudah seharusnya memiliki kemampuan dasar menulis dan foto.
Tantangannya tentu saat bepergian liputan akan membawa peralatan yang lebih banyak dan lebih berat. Tetapi itu sudah bukan jadi masalah lagi, karena sudah terbiasa. Hanya saja harus dibawa dengan tas khusus yang lebih aman dan nyaman dipakai.
Namun sebelum pergi liputan sebaiknya ditabulasi kebutuhannya. Jika liputan investigasi, liputan di daerah pedalaman atau tempat yang sulit dijangkau, maka akan memutuskan tidak bawa kamera. Toh, dengan kamera smartphone sekarang ini kita tetap bisa menghasilkan foto yang bagus. Beberapa kali foto hasil jepretan HP saya jadi foto headlines.
Bagaimana Anda pertama kali bergabung dengan IDN Times? Apa yang menarik Anda untuk bekerja di media yang sangat populer di kalangan generasi muda ini?
Delapan tahun berkarier di Harian Tribun Medan tentu memiliki titik jenuh. Terlebih sebelum di Tribun Medan sudah bekerja di KontraS selama 2 tahun. Sudah 10 tahun bekerja membuat saya ingin mencoba mencari tantangan baru, salah satunya melamar editor di media lain, bahkan ada juga melamar pekerjaan yang tidak berkaitan dengan jurnalistik.
November 2018 saya dihubungi oleh HRD IDN Times untuk menjalani beberapa tes. Pada saat seleksi saya hanya tahu IDN Times sebagai media baru mirip-mirip Kumparan, Katadata, Lokadata, dan media online baru lainnya yang kala itu lagi menjamur. Setidaknya 2 kali tes tertulis dan 4 kali wawancara yang saya jalani.
Pertama wawancara by phone dengan HRD, kedua wawancara offline dengan Koordinator Hyperlocal di Hotel Swissbell In Medan. Ketika wawancara dengan Pemimpin Redaksi, Uni Lubis secara offline karena kebetulan saat itu Mbak Uni sedang ada kegiatan mengisi pelatihan di Medan. Ini juga cukup unik, wawancara di stasiun kereta api Medan. Kala itu Mbak Uni dari bandara naik Railink, dan langsung mewawancarai saya secara singkat di kursi depan pintu masuk Railink Medan.
Yang terakhir paling menegangkan, wawancara dengan owner-nya IDN Times, Winston Utomo by phone. Saat diwawancara saya sedang makan di sebuah kafe, berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan sebaik mungkin dan gak nge-blank. Syukurnya semua berjalan lancar. Tanggal 3 Desember 2018 jadi hari perdana saya di IDN Times, saya menjalani perkenalan kerja di Surabaya 3 hari dan lanjut ke Jakarta 2 hari.
Setelah bergabung baru saya mengetahui tentang IDN Times, dan banyak hal-hal yang berbeda dari kantor saya sebelumnya, termasuk soal nilai-nilai kesetaraan, menghargai sesama Timmy (sebutan karyawan IDN Times), dan kerja sama antar lini bisnis IDN Times.
Apa yang menurut Anda menjadi keunikan dalam bekerja di IDN Times dibandingkan dengan media lainnya? Kalau enggak salah IDN Times bisa dibilang pelopor penulisan straight news dengan pointers, bagaimana pendapat Anda terkait hal itu?
Pointers itu adalah listicle. Benar IDN Times adalah pelopor pemberitaan dengan model listicle di Indonesia yang kini banyak ditiru media lain. Karena Gen Z n Millennial memiliki minat baca yang tidak terlalu tinggi, sehingga mereka kerap mengabaikan berita yang bertele-tele. Jadi dengan model listicle, Gen Z bisa cepat membaca point-point penting dalam berita IDN Times.
Selain itu, IDN Times selalu melakukan peliputan yang memenuhi 5W+1H Plus 1 I. I yang dimaksud adalah impact. IDN Times selalu mempertimbangkan liputan memiliki impact positif atau negatif ke pembaca khususnya Millennial n Gen Z. Jika hanya menyebabkan dampak negatif, maka lebih baik berita tersebut tidak dimuat.
Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi dalam bekerja di media digital seperti IDN Times, terutama dalam hal menghasilkan konten yang menarik dan relevan bagi pembaca muda?
Tantangan adalah harus terus meng-update informasi tentang Gen Z, istilah-istilah Gen Z, selera Gen Z. Ini hal yang tidak mudah untuk dilakukan generasi millennial yang nyaris berusia 40 tahun seperti saya. Bisa jadi apa yang disukai Millennial belum tentu disukai Gen Z dan sebaliknya. Jadi perlu adaptasi dan banyak membaca referensi dan bermain sosmed untuk bisa menghasilkan konten yang relevan dengan Gen Z.
Apa peluang terbesar yang Anda lihat dalam bekerja di industri media saat ini, khususnya dalam bidang fotografi jurnalistik?
Saat ini ada ChatGPT dan teknologi AI yang bisa menghasilkan foto, artikel bahkan video, tapi saya meyakini Fotografi Jurnalistik takkan pernah mati. Fotografi akan menjadi perekam peristiwa dan sejarah kehidupan manusia. Jadi Fotografi Jurnalistik akan memenangkan persaingan dan akan tetap dibutuhkan manusia hingga ratusan tahun yang akan datang.
Anda telah meraih beberapa penghargaan dalam bidang fotografi. Apa arti penghargaan-penghargaan tersebut bagi Anda? Boleh diceritakan mana yang paling berkesan?
Penghargaan menurut saya adalah pemecut semangat saya untuk tidak berhenti berkarya dan terus mengembangkan kreativitas dalam berkarya. Saya tidak pernah berkarya demi tujuan mendapatkan penghargaan. Sebaliknya, karya setulus hati, penuh kerja keras, dan memegang teguh semangat jurnalisme berkeringat itu akhirnya mendatangkan penghargaan.
Untuk karya fotografi, yang paling berkesan adalah juara "Foto Mahakarya Indonesia" pada 2013. Kala itu foto saya berjudul “Gotong Simalungun” menjadi juara pertama dengan hadiah Rp99 Juta. Foto itu saya hasilkan hanya dengan menggunakan kamera DSLR jadul Canon 50D dan lensa tela murahan 55-250 mm. Yang lebih membanggakan, kini foto tersebut dipajang di Museum Sampoerna Surabaya.
Untuk karya tulis jurnalistik yang paling berkesan adalah tulisan investigasi berjudul “Gaji Guru Honorer Simalungun Disulap Jadi Pajero”. Karya tulis ini megantarkan saya mendapatkan fellowship dan tulisannya dibukukan bersama 11 penulis ternama lainnya dari berbagai kota di Indonesia dengan judul “Menelisik Anggaran Publik” pada 2012.
Dua penghargaan besar pada 2012 dan 2013 atau di awal-awal karir jurnalistik saya itu menjadi pemacu semangat hingga saat ini yang sudah 14 tahun bergelut di dunia jurnalistik. Sejak saat itu berbagai penghargaan berhasil saya raih.
Teranyar, September ini saya baru saja mendapatkan Fellowship dari Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) untuk melakukan pameran foto bertajuk Pluralisme di Indonesia di Galeri Perpustakaan kampus UIII Depok pada 2-3 Desember nanti. Total ada 50 foto yang akan saya pamerkan pada kegiatan yang dikemas dalam bentuk Simposium ini.
Jangan lupa untuk membaca kisah inspiratif lain dari profesional yang expert di bidangnya di Rubrik Profil!