Gita Hermanda: Dari Jurnalis ke PR, Kreativitas Tanpa Hard Selling
Punya segudang pengalaman di industri media, pada akhirnya, di momen saat ini Gita Hermanda berlabuh di profesi sebagai Senior Public Relations di perusahaan yang bergerak di bidang kampanye aksi sosial Campaign. Sebenarnya kalau dirunut, profesi sebelumnya dengan profesi saat ini memiliki benang merah. Dan malah, pengalamannya di media sebagai jurnalis, news anchor, dan penyiar seolah mempersiapkan ex-News Anchor MNC Media ini sebagai public relation sejati.
Gita bercerita kalau selama jadi jurnalis, news anchor, dan penyiar yang dilatih pertama adalah kreativitas, kemudian yang kedua sense of being unique. Ketika hendak membuat berita, seorang jurnalis akan berpedoman dengan news value, sementara news value itu ada bermacam-macam dan butuh kepekaan untuk menentukan mana yang benar-benar news value.
Ketika kita berada di lapangan dan melihat fakta, kalau enggak terlatih, kita bisa bingung menentukan apakah fakta ini dibutuhkan dalam pemberitaan atau enggak. Apakah fakta ini laku untuk diberitakan atau tidak. "Sebagai humas dibutuhkan banget kreativitas untuk bisa mempromosikan perusahaan. Karena kita enggak mungkin mempromosikan perusahan hard selling banget. Kita tahu orang-orang pada umumnya enggak suka dengan yang namanya iklan. Kalau kita hard selling terus tanpa kreativitas, branding kita atau upaya campaign kita enggak akan berhasil," demikian penuturan Gita.
Seperti apa perjalanan switch career-nya yang sebenarnya enggak terlalu switch juga--dan bagaimana Gita menyiasati dan menikmati adaptasi dari peran barunya? Baca cerita inspiratifnya di sini!
Apa yang menarik Anda untuk terjun ke dunia jurnalistik pada awalnya?
Emang dari SMA itu aku udah tertarik dengan hal-hal yang berbau publikasi. Ketika anak SMA yang lain waktu itu yang waktu itu belum tahu arahnya kemana tapi aku tuh udah tahu kalau aku mau jadi wartawan. Aku udah merencanakan akan mengambil Komunikasi Unpad.
Apa momen yang paling berkesan selama berkarier di dunia media?
Banyak ya aku pernah meliput presiden dan wakil presiden, itu cukup berkesan. Oh ternyata aslinya begini toh. Kalau meliput presiden kita harus patuh dengan protokol. Tapi buat aku, yang paling berkesan ketika aku harus meliput tsunami di Pandeglang Banten dimana aku harus menghadapi ketakutan-ketakutanku, seperti tsunami susulan, gempa susulan, tapi di sisi lain aku harus bersikap profesional. Aku harus tetap memberitakan berita di pinggir pantai yang bisa saja sewaktu-waktu ada tsunami susulan. Itu sulit banget sih, untuk memisahkan antara emosi, ketakutan, dan profesional kita. Karena menurutku lagi-lagi di tengah situasi demikian kita harus tetap melihat apa nih keunikan di lapangan yang belum diliput oleh media-media lain. Apa nih news value yang harus kita dapatkan di lapangan. Kita harus tetap keep thinking, keep being creative di lapangan. Dan ini benar-benar kepake banget ketika aku bekerja di public relations.
Apa yang memotivasi Anda untuk beralih dari dunia media ke bidang public relation, khususnya di platform kampanye aksi sosial?
Sebenarnya enggak ada cerita khusus, itu murni karena sebuah tuntutan bahkan itu sebenarnya dulunya keterpaksaan. Jadi itu aku harus resign dari dunia jurnalistik yang aku amat sangat cintai karena aku hamil. Kemudian setelah dua tahun, baru aku terjun ke dunia public relation. Karena apa, simply karena itu bidang yang masih sejalan dengan aku dan yang buka lowongan. Jadi sebenarnya ada unsur-unsur sengaja enggak sengaja juga sih. Terus kenapa akhirnya aku bisa enjoy, karena ketika aku bekerja di bidang sosial, itu sedikit banyak menuangkan idealisme-idealisme aku.
Dari dulu kan secara enggak sadar aku tertarik banget sama dunia feminism, isu-isu perempuan. Ternyata itu terwadahi di perusahaan start up yang aku geluti saat ini. Ketika ada proyek tentang perempuan, kesetaraaan, aku senang banget karena aku sudah memiliki passion di dalamnya. Yang aku kira passion aku itu hanya dijurnalistik, wawancara sana sini..ternyata aku punya passion lain lagi di dunia sosial.
Bagaimana Anda melihat transisi dari seorang jurnalis menjadi seorang public relation? Apa saja tantangan yang Anda hadapi saat pertama kali beradaptasi dengan peran baru ini?
Aku dari dulu sebagai jurnalis sangat benci hard selling. Tapi akhirnya aku jadi punya cara, hard selling tapi tetap disukai sama khalayak. Karena bertahun-tahun dari 2015 aku berkutatnya dari sudut pandang pembaca, aku bisa membawa ini ke dunia public relations. Lagi-lagi dibutuhkan banget nih news value. Kalau kita tempatkan news value yang tepat di campaign kita, bermodal news value aja itu bisa jadi kunci yang tepat untuk menarik perhatian pembaca.
Apa perbedaan paling mencolok antara bekerja sebagai jurnalis dan sebagai public relation?
Sebagai jurnalis kita memposisikan diri sebagai pembaca, khalayak butuh apa. Nah sebagai public relation, kebutuhan kita adalah branding dan menaikan citra perusahaan. Kalau jurnalis melihat dari kacamata publik, kalau public relations kacatamata perusahaan. Nah ini dia yang harus disatukan, gimana publik mau mengonsumsi materi-materi tentang citra perusahaan.
Apa tantangan terbesar yang pernah Anda hadapi dalam mengelola kampanye aksi sosial? Bagaimana Anda mengatasinya?
Sebenarnya tantangan terbesar yang aku rasakan sampai sekarang dan terus menerus itu adalah gimana caranya kita mengajak orang untuk melakukan kampanye sosial tapi di dalam hape. Sebenarnya kan itu unique selling, dimana kita menghadirkan sesuatu yang baru ke orang-orang. Lo bisa kampanye lewat hape, lo bisa kok berdonasi tapi tanpa uang. Ada orang-orang yang penasaran tapi ada juga yang merasa aneh. Sebagai public relations, tugas kita menggaet orang-orang yang belum terlalu peduli ini. Gimana caranya kita buat aplikasi ini seru di mata mereka, cara kita promosikan ke mereka keseruannya.
Selain lewat press release, kita juga harus banyak main ke media sosial. Demografi audiens kita itu gen z, jadi kita harus menyesuaikan tools apa yang dipakai untuk mempromosikan start up kita. Itu sih yang menjadi tantangan terbesar. Kemudian juga mendeteksi KOL atau influencer mana yang cocok dengan audiens, konten-konten yang gimana yang disukai gen z. Otomatis kita harus berjuang keras trial and error dari segi taktik komunikasi di media sosialnya.
Keterampilan apa saja yang menurut Anda paling penting untuk dimiliki oleh seorang public relation yang sukses?
Sense of creating a news dan sense of realize news value. Untuk menyadari news value atas fakta di depan mata enggak semua orang bisa menangkap itu. Dulu aku ketika jadi wartawan saat menerima press release, ketika udah enggak menarik di paragraf pertama, udah pasti aku singkirkan. Aku punya bekal itu ketika menjadi jurnalis. Sedikit banyak, aku tahu apa yang dicari jurnalis. Inilah yang aku olah menjaidi strategi komunikasi yang menarik.
Bagaimana Anda menggabungkan keterampilan komunikasi yang Anda peroleh sebagai jurnalis dan anchor dalam pekerjaan Anda saat ini?
Ketermpilan komunikasiku benar-benar teruji ketika aku bikin media gathering dan aku jadi moderatornya. Di momen itu aku bisa mengarahkan perbincangan seperti apa yang akan diliput wartawan dan saat talkshow-nya aku sempat nyeletuk suatu kalimat dan itu jadi headline di suatu media yang prestisius. Contohnya, gimana sih kaum mageran itu bisa berdonasi dan tanpa uang bisa berkampenye sosial. Aku benar-benar meng-higlight sebuah keunikan.
Menurutku, seorang public relations yang baik ketika bisa membuat membuat startegi komunikasi yang bisa naik secara organik tanpa perlu menawar-nawarkan ke media. Ibaratnya, lo lihat deh gue punya isu ini. Dari poin-poin yang kita suguhkan angle-angle yang kita kasih disukai sama wartawan tanpa perlu kita pitching yang gimana banget. Nah itu sebenarnya kebanggaan tertinggi seorang public relations.
Bagaimana Anda membangun hubungan yang kuat dengan berbagai pihak yang terlibat dalam kampanye aksi sosial, seperti media, pemerintah, dan masyarakat?
Aku selalu menjaga komunikasi dengan teman-teman di lapangan dulu. Dan sekarang banyak yang udah jadi editor, produser. Ketika aku bilang aku punya sebuah berita dan bertanya mau enggak mereka memberitakan secara organik, mereka mau. Sebelum pitching ke mereka aku sudah menyediakan berita yang bagus sehingga ketika aku approach ke mereka dengan mudahnya mereka mau menayangkan itu.
Adakah pengalaman pribadi yang sangat memotivasi Anda untuk terlibat dalam kampanye aksi sosial?
Banyak banget pengalaman pribadi yang sebenarnya adalah idealisme-idealismeku ketika menjadi wartawan. Aku punya passion menyuarakan equality, baik itu isu perempuan, keagamaan, atau kebebasan beragama dan sebagainya. Ketika di kantor ada kampanye equality yaituproyek perdamaian lintas agama, aku benar-benar termotivasi untuk membuat proyek ini besar karena ada value-value yang aku junjung.
Siapa sosok yang paling menginspirasi Anda dalam perjalanan karier?
Dulu pas jadi jurnalis, Mba Najwa Shihab, tapi kalau sekarang sih aku enggak punya sosok yang spesifik. Tapi aku suka banget sama orang-orang yang menyuarakan equality tentang feminism seperti Kalis Mardiasih. Dia itu sangat menginspirasi dan mencerahkan bagaimana kita harus berbuat sesuatu dengan perspektif gender. Ini yang jadi pegangan aku ketika bekerja. Apapun karier ke depan, aku harus menjunjung tinggi equality. Setinggi apapun jabatan kalau kita menindas perempuan untuk apa.
Apa pesan yang ingin Anda sampaikan kepada generasi muda yang tertarik berkarier di bidang public relations atau kampanye sosial?
Kita harus punya value dan idealisme tersendiri dalam diri kita. Ketika kita bekerja sebagai apa pun entah itu public relations kita bisa menyalurkan passion kita dalam pekerjaan. Karena percaya deh pekerjaan yang dilakukan dengan hati enggak hanya bagus dan memuaskan diri kita sendiri, tapi ber-impact ke orang lain.
Itu tadi cerita dari Gita. Baca cerita inspiratif dari profesional lainnya di Rubrik Profil Loker ID!