Meramalkan Masa Depan Dunia Kerja Indonesia Bersama Peter Febian
Bukan mau menakuti nih, data dari Kemnaker menyebutkan kalau dari Januari - Agustus 2024, karyawan yang mengalami PHK ada sebanyak 46.240. Namun menurut ekonom dari Bright Institute, gelombang PHK ini bisa mencapai di atas 70.000 sampai akhir tahun 2024. Sementara itu, saat menghadiri saat menghadiri Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Solo, Presiden Jokowi mengingatkan kalau akan ada ancaman badai PHK di tahun 2025 dimana kemungkinan 85 juta pekerjaan akan hilang.
Terus, bagaimana dengan nasib pekerja di Indonesia? Apakah kita akan menemukan jawabannya dengan bertanya pada rumput yang bergoyang? Belum lama ini Loker ID mengobrol dengan Peter Febian atau biasa disapa dengan Om Pete yang sudah malang melintang di dunia HR dan people development membahas mengenai update dunia karier dan kerja dulu dan kini.
Produksi sarjana yang melebihi kapasitas industri, belum lagi pendidikan kita yang belum bisa menghasilkan SDM dengan skill set mumpuni adalah masalah yang harus dituntaskan terlebih dahulu. Seperti apa pandangan Om Pete terkait isu-isu sensitif di dunia karier? Simak langsung ceritanya di sini!
Perubahan mencolok apa yang Anda lihat dalam dunia perekrutan dan dunia kerja di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir?
Perubahan yang paling mencolok adalah antara, sebelum, ketika, dan setelah COVID-19. Jadi ada 3 periode perubahan. Sebelum COVID-19, umumnya orang berpikir karier adalah sesuatu yang ada dalam kekuasan mereka. Ada pameo yang bilang, "Pekerjaan itu punya perusahaan, sedangkan karier punya kita". Waktu dulu sebelum COVID-19, karier itu punya kita, kita punya kendali penuh atas karier. Kemudian datanglah COVID-19 yang memporak-porandakan semuanya. Ketika COVID-19, seaman dan sekompeten apa pun karier seseorang, akan terdampak juga. Ada banyak profesional-profesional yang tidak berhasil survive.
Nyaris semua jenis pekerjaan hancur total, sehingga kita harus mendefinisikan ulang apa itu karier. Dari situ saya simpulkan, yang sesungguhnya milik kita, yang tidak bisa diambil siapa pun adalah kompetensi alias skill set kita. Yang sesungguhnya harus kita perhatikan, bangun dan rawat, kita update sesuai perkembangan zaman adalah skill bukan karier. Most of the time, karier akan mengikuti skill.
Sekarang bukan zamannya lagi ngomongin skill tapi skill set, harus ada kata "set"-nya. Harus ada beberapa skill yang saling menunjang satu sama lain baru bisa disebut skill set. Contohnya keahlian menulis, keahlian menulis bukan cuma jadi penulis buku, tetapi juga bisa digunakan untuk marketing, bisa jadi script writer, corporate communication, atau public relation. Nah, masing-masing pilihan karier itu membutuhkan skill yang sama tapi membutuhkan skill set yang berbeda. Kalau penulis buku enggak harus ditekankan bisa bahasa Inggris, kalau PR wajib. Untuk corporate communication harus tahu legal. Marketing harus ngerti tentang performance marketing dan media sosial. Sayangnya, yang membangun skill set dengan benar masih sedikit sekali.
Kalau dari sisi rekruter dalam hal perekrutan, yang berubah pasca COVID-19 enggak ada perubahan sih. Malah sekarang itu lebih ketat kompetisinya karena orang makin banyak yang mencari kerja. Ada istilah take it or leave it, sebenarnya itu enggak bisa kita sikapi sebagai kesombongan perusahaan. Coba kita masuk ke sepatu rekruter, mereka juga pusing dengan banyaknya CV yang masuk. Saya juga buka lowongan Community Development Staff terbuka untuk fresh graduate, banyak banget yang masuk, sudah nembus 2000 dan rata-rata sarjana semua. Tapi yang out standing paling hanya 5%. Kenapa begitu, ya karena ketiadaan skill set tadi.
Bagaimana teknologi mengubah cara perusahaan merekrut karyawan dan cara karyawan mencari pekerjaan?
Kalau yang saya lihat dalam konteks di Indonesia, teknologi belum merevolusi cara kerja atau cara mencari kerja pekerja atau cara perusahaan mencari pekerja. Mayoritas perusahaan masih menggunakan cara-cara lama dalam merekrut karyawan dan mayoritas pencari kerja masih menggunakan cara-cara lama dalam mencari kerja.
Salah satu yang kurang dimanfaatkan adalah membangun personal branding di LinkedIn. Baik dari perusahaan maupun pencari kerja. Dari pengalaman saya, ketika melakukan perekrutan di LinkedIn, kandidat yang masuk jauh berbeda.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi oleh pencari kerja dan perusahaan di Indonesia saat ini?
Saya akan bicara dari sudut pandang pencari kerja, data terbaru dari Kemendikbudristek mencatat, semua kampus di seluruh Indonesia sanggup memproduksi lebih dari 1 juta sarjana dan diploma pertahunnya. Di sisi lain daya serap industri sangat tidak sebanding dengan kapasitas produksi sarjana tersebut. Lowongan kerja terbaru pertahun itu enggak sampai setengahnya. Realitas lapangan ini membawa konsekuensi semakin susahnya orang mendapatkan pekerjaan. Tahu enggak yang lebih mengerikannya lagi? 60 – 70% lowongan pekerjaan tidak diiklankan, melainkan bergerak dari satu rekomendasi ke rekomendasi lain.
Kondisi ini diperparah dengan gap skill set yang dimiliki sarjana dan diplom, antara yang mereka miliki dan industri butuhkan. Ini terjadi juga sama lulusan SMK. Saya sendiri berusaha menemukan orang yang tepat ternyata challenging karena gap skill set-nya jauh berbeda, dari komunikasi sampai etika kerja.
Nah, selain yang sudah saya sebutkan tadi, tantangan lainnya adalah semakin lemahnya industri manufaktur. Indonesia tidak menjadi negara industri maupun negara agraris. Akhirnya yang menguat adalah sektor informal. Itu yang jadi andalan orang-orang saat ini.
Jadi dengan kondisi seperti ini, peluang atau hal apa nih yang bisa kita lakukan, terutama buat pencari kerja?
Di tengah melemahnya industri saat ini, sangat tidak realistis kalau kita masih mengharap dari sektor formal. Anak saya masuk ke angkatan yang harus cari kerja di tengah situasi yang sulit ini. Namun anak saya cukup beruntung karena dia punya skill set yang bisa dia gunakan untuk pekerjaan remote. Anak saya desain interior, dia bisa mencari klien dari luar negeri untuk pekerjaan jarak jauh. Nah, di sini dia perlu skill bahasa Inggris untuk bisa mengobrol dengan kliennya.
Kalau industri dalam negeri lagi suffer ya kita bisa cari klien di regional dan global. Kuncinya ya skill set itu tadi. Alangkah baiknya di tengahpencarian kerja ini kita isa menjual sesuatu atau build something dengan skill set yang kita miliki. Apakah saat ini kamu harus terpaku dengan bekerja di perusahaan atau bisa bebas mengikuti gig economy menjadi pekerja lepas.
Keterampilan apa saja nih, yang menurut Anda wajib dimiliki oleh pekerja di masa depan?
Ngomongin soal keterampilan sebenarnya udah banyak yang membahas, berjibun malah. Saya enggak akan mengatakan hal yang bisa dibaca di internet. Yang ingin saya bagi di sini adalah tiga hal penting yang perlu di-highlight, pertama adalah skill komunikasi. Masyarakat kita enggak suka membaca panjang dan ngomong suka ngasal. Itu cuma sedikit dari masalah komunikasi. Berkaitan dengan komunikasi ini ada juga kemampuan berbahasa Inggris. Supaya apa, supaya kita bisa membaca sumber-sumber bacaan berbahasa Inggris yang kebanyakan bagus-bagus dan baik untuk pengembangan diri dan update informasi. ga suka membaca panjang dan ngomong suka ngasal…itu Cuma sedikit dari masalah komunikasi.
Kedua adalah kecakapan berpikir. Lho kita kan bisa mikir, kata siapa? Kita punya otak tapi belum tentu bisa mikir. Banyak punya otak tapi ketinggalan di rumah..sorry to say..common sense-nya enggak jalan, akal sehatnya enggak jalan. Thinking skill ini termasuk analytic thinking, critical thinking, dan strategic thinking. Pokoknya harus kuat mikir, kalau enggak kuat mikir kita cuma akan jadi eksekutor.
Ketiga execution skill. Kalau sudah cakap berpikir ya dia harus cakap mengeskesui juga sih. Berapa orang yang mengeskeusi pikirannya sendiri? Kebanyakan malah jadi eksekutor orang lain.
Saran apa yang ingin Anda bagikan kepada para pencari kerja, terutama generasi muda, untuk meraih kesuksesan dalam karier?
Miliki ketiga skill. Kemudian kurang-kurangilah sikap sense of entitlement, suatu pemikiran dimana dunia harus menuruti apa yang kita mau. Gua nih lulusan UI gaji harus 10 juta, padahal baru masuk kantor. Percayalah almamater itu cuma berpengaruh sedikit, biasanya pengaruhnya ke BUMN kalau swasta enggak ngaruh. Cuma posisi tertentu saja yang melihat nama besar kampus. Di dunia kerja yang kita omongin adalah skill set dan koneksi. Koneksi bukan berarti "orang dalam" ya. Koneksi enggak salah kok. Kalau lo jago banget skill set tapi enggak ada yang tahu ya sama aja!
Terus juga, yuk kita hentikan perdebatan antar generasi. Kalau sekarang ini gan gen z yang lagi banyak diomongin. Sebenarnya ya dari dulu perdebatan antar generasi ini selalu ada. Seperti generasi milennial yang dulu juga diomongin sama generasi X. Hal-hal seperti ini enggak perlu mengiritasi mental kita. Enggak usah cengeng, kerjaan berat dikit dibilang toksik. Tidak perlulah menghabiskan energi membuat narasi tandingan. Buktikan saja jangan fokus berargumen. Kalau sudah dibuktikan yang cerewet akan minggir.
Apa yang perlu dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan positif bagi karyawan?
Saya mau menekankan satu hal, yaitu kepatuhan perusaahaan pada peraturan tenaga kerja. Saya sebagai HR merasa miris melihatnya banyak perusahan melanggar undang-undang tenaga kerja. Dari sisi perusahaan, kalau kita enggak sanggup bayar karyawan dengan upah minimum propinsi ya enggak perlu merekrut mereka. Coba lihat fungsi jabatannya bisa di-outsource atau di-freelance-kan atau enggak.
Yang sudah keburu merekrut misalnya perusahaan lagi goyang, pilihannya pengurangan gaji atau PHK. Dibicarakan secara transparan. Kondisi perusahaan seperti apa dan jika harus langkah PHK, penuhi hak karyawan untuk terakhir kalinya. Karena doa orang-orang yang terzalimi bahaya sekali.
Itu tadi obrolan Loker ID bersama Om Pete. Cerita inspiratif seputar dunia karier dan kerja dari sudut pandang expert lainnya bisa Anda baca di Rubrik Profil!