Beranda> Artikel> Eva Tanty Sari: Banting Setir Dari Content Writer ke Owner Studio Tari

Eva Tanty Sari: Banting Setir Dari Content Writer ke Owner Studio Tari

Rubrik ProfilContent 101

Eva Tanty Sari

Eva Tanty Sari adalah salah satu dari sekian karyawan yang terkena layoff. Perubahan yang paling terasa pasca-layoff adalah dari sehari-hari sibuk bekerja dan mengejar deadline, menjadi punya banyak waktu luang dan bingung mau mengerjakan apa. Waktu luang inilah yang akhirnya digunakan alumni London School of Public Relations (LSPR) jurusan Mass Communication  untuk membuka studio tari dan membuka usahanya sendiri. Dengan pengalamannya di dunia content marketing, Eva memperkenalkan dan memasarkan studio tarinya. Seperti apa suka duka dan perjalanan karier membawa Eva pada momen yang sekarang? Simak cerita Eva di sini!

Boleh diceritakan perjalanan karier Anda, sampai akhirnya kena layoff?

Perjalanan karier saya bisa dibilang kurang begitu mulus sebenarnya. Saya sempat lama tidak mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah. Waktu itu, saya sempat menerima freelance jadi penerjemah subtitle film di MNC. Pekerjaannya lumayan mengasikkan, karena saya jadi bisa nonton reality show gratis dan mengasah bahasa Inggris saya juga. Setelah beberapa bulan, saya diterima kerja di sebuah perusahaan publishing. Waktu itu pekerjaan saya adalah jadi editor buku Rusia. Jangan salah, saya enggak pernah belajar bahasa Rusia. Jadi, saya hanya mengedit typo-typo-nya saja, sama cocokin dengan huruf-huruf Rusianya.

Nah, sebenarnya pekerjaan mengedit bahasa seperti itu bukan passion saya. Tapi yang membuat saya tetap menerima pekerjaan tersebut adalah karena perusahaan publishing tersebut juga punya majalah bahasa Inggris, majalah untuk edukasi gitu. Dan untuk majalah tersebut, saya berkesempatan mewawancara beberapa artis terkenal seperti celebrity chef dan Romy Rafael dalam bahasa Inggris. Jujur, pengalaman tersebut cukup berkesan bagi saya. Namun sayang, saya bekerja di perusahaan tersebut hanya 3 bulan saja, menghabiskan masa probation doang.

Dari perusahaan tersebut, saya akhirnya coba untuk mengambil sekolah bahasa ke negeri bambu selama dua tahun. Setelah kembali ke Indonesia, saya diterima kerja di Weddingku sebagai feature writer. Jujur, pekerjaan di Weddingku itu seperti dream job saya, karena saya memang suka bekerja di media, khususnya majalah. Dan menurut saya, dunia wedding itu indah aja, penuh dengan dekorasi cantik, gaun cantik, semua yang indah-indah. Waktu bekerja di Weddingku, saya juga bisa ngeliput berbagai event yang menarik, mulai dari hotel, restoran, toko baju, sampai saya juga sempat dikirim keluar negeri beberapa kali untuk meliput destinasi honeymoon.

Sungguh, saya sangat menikmati bekerja di Weddingku. Sayangnya, saya hanya bisa bekerja selama 3 tahun saja di sana karena ada masalah internal. Dari Weddingku, saya pindah ke Halodoc, perusahaan aplikasi kesehatan, sebagai content writer. Waktu awal-awal masuk perusahaan tersebut, saya cukup struggling dalam beradaptasi. Pasalnya, sistem kerja majalah (printed) dengan website (online) sangat jauh berbeda. Kalau di majalah, saya terbiasa menulis tulisan panjang dengan bahasa yang diromantisasi sedikit karena konteksnya adalah dunia wedding. Sedangkan di website saya harus bisa menulis tulisan yang jelas, berisi, dan tidak terlalu panjang. Deadline-nya pun juga berbeda. Karena majalah Weddingku terbit hanya 3 bulan sekali, jadi saya punya banyak waktu untuk menyelesaikan tulisan saya. Sedangkan di Halodoc, saya harus nulis beberapa artikel setiap hari. Dan karena perusahaan aplikasi kesehatan tersebut bukan media, jadi tidak ada liputan dan saya harus bekerja full di kantor setiap hari. Hal itu juga sempat membuat saya merasa jenuh dan merindukan dunia media. Meski begitu, saya banyak belajar selama bekerja di Halodoc. Saya belajar untuk menulis dengan cepat, belajar membuat tulisan yang SEO-friendly, belajar juga tentang dunia kesehatan dan masih banyak lagi. Saya bekerja di Halodoc selama 6 tahun sebelum akhirnya saya di-lay-off.

Bagaimana akhirnya Anda memutuskan untuk membuka studio tari?

Punya studio tari adalah impian saya sejak dulu. Namun, sebenarnya saya hanya menginginkan sebuah studio kecil untuk saya latihan nari sendiri atau bersama beberapa teman saya. Jadi, saya berharap saya bisa memiliki studio tari yang dekat dari rumah saya. Namun, ibu saya membeli sebuah rumah dan menawarkan untuk membuatkan studio tari di sana. Tidak disangka, setelah jadi, studionya ternyata cukup besar dan rasanya sayang jika hanya dimanfaatkan untuk latihan sendiri. Jadi, akhirnya saya memutuskan untuk menyewakan juga studio tersebut dan membuka beberapa kelas.

Sejauh ini sudah berapa lama studio tari Anda sudah berjalan? Sebenarnya studio saya sudah jadi sejak awal tahun ini (2024). Namun, waktu itu, saya masih harus memperbaiki studio, melengkapi fasilitas di dalamnya dan juga tes kekedapan suara. Selain itu, saya juga masih belum percaya diri untuk mempromosikannya lantaran lokasi studio yang berada di dalam gang. Karena lokasinya yang nyempil itu juga lah saya menamakan studio saya “Hidden Gem Studio”.

Selain itu, saya juga bingung bagaimana harus mengembangkan studio tersebut. Karena background saya jurnalisme dan sekarang harus berubah menjadi pengusaha atau owner studio. Sampai akhirnya saya berpikir, saya sudah dimodali oleh orangtua sebuah studio tari, jadi adalah tanggung jawab saya untuk mengembangkannya. Kalau takut melulu dan tidak berani memulai, maka tidak akan pernah berjalan. Jadi, saya pikir, ya coba jalani dulu saja, kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Akhirnya saya baru mulai membuat akun IG-nya dan menjalankannya bulan Mei yang lalu.

Tantangan apa saja yang Anda hadapi selama merintis studio tari ini?

Seperti yang saya bilang sebelumnya, selama ini saya hanya berpengalaman di bidang media dan tidak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa saya akan menjadi seorang entrepreneur. Jadi, ketika saya harus beralih profesi menjadi owner studio tari, saya cukup kebingungan dan meraba-raba bagaimana harus mengembangkannya. Untungnya, saya tergabung dalam komunitas nari dan juga gym, sehingga saya punya cukup banyak kenalan guru untuk mengajar di studio saya. Teman-teman saya pun juga banyak memberi masukan mengenai bagaimana cara untuk meningkatkan akun Instagram @hidden.gem_studio dan bagaimana harus membuat system kelas.

Bagaimana cara Anda mempromosikan studio tari milik tersebut?

Sejauh ini saya menggunakan sosial media Instagram untuk mempromosikan studio tari. Bersyukur, teman-teman saya banyak membantu mempromosikan dan juga men-support studio saya. Dalam mengembangkan akun IG studio saya, saya benar-benar mengerahkan semua skill sosmed dan copywriting yang saya tahu. Jadi, saya harus memikirkan konten apa yang harus saya buat untuk mengisi akun IG tersebut, bagaimana caption-nya, bagaimana cara menaikkan engagement, bahkan saya sendiri yang men-design kontennya untuk di-upload di IG.

Apakah pengalaman berkarier sebelumnya turut menyumbang proses kreatif berdirinya studio tari Anda?

Waktu saya bekerja di Weddingku, saya sempat diberi kepercayaan untuk memegang akun sosmed mereka. Namun, saya hanya meng-upload foto yang sebelumnya sudah diedit design grafis pada jam-jam prime time, dan membuat caption. Namun, dari situlah saya belajar untuk membuat caption yang informatif di Instagram. Setelah di-layoff, saya juga ada mengikuti bootcamp copywriting. Nah, dari sana, saya banyak belajar cara membuat caption yang tidak hanya informatif, tapi juga menarik dan tidak terlalu panjang. Saya juga belajar membuat konten-konten yang menarik, dan harus disertai CTA, dan lain-lain.

Apa saja pengalaman Anda dalam menari dan mengajar tari sebelum membuka studio tari?

Pengalaman menari saya mostly di gereja. Namun, selama menari di gereja, saya belajar tari ballet, tamborin, contemporer, dan modern. Selain belajar, saya juga sempat beberapa kali diberi kepercayaan untuk membuat koreo untuk event-event seperti natal, dan lain-lain. Saya juga saat ini sedang menekuni tari tradisional Jawa di sebuah sanggar di daerah Jakarta Selatan.

Jenis tari apa yang Anda ajarkan di studio tari Anda?

Nah, sebenarnya saya memang lebih kepingin menjadikan studio ini studio tari. Namun, sejauh ini, banyak teman yang lebih tertarik atau request kelas olahraga, seperti zumba dan yoga. Namun, rencananya saya akan mengadakan kelas Kpop dance tidak lama lagi. Saya juga berencana mengadakan kelas contemporer, ladies, dan semua genre yang saya suka hahahahhaa...

Bagaimana Anda menyeimbangkan passion Anda terhadap tari dengan aspek bisnis studio tari?

Hmm… saya berusaha untuk lebih mengikuti permintaan dari orang-orang dibanding keinginan saya sendiri sih. Contohnya, dari survey di Instagram, ternyata cukup banyak orang yang minat untuk mengikuti kelas yoga, sedangkan saya sendiri kurang begitu suka dengan olahraga tersebut. Saya sempat merasa enggan untuk membuka kelas tersebut, tapi karena ini demi bisnis studio saya laku, ya mau enggak mau saya harus mendengarkan permintaan orang banyak.

Bagaimana transisi karir Anda memengaruhi kehidupan pribadi Anda?

Sebenarnya transisi karir dari penulis menjadi owner studio tari merupakan transisi yang bisa dibilang cukup besar dalam hidup saya. Namun, untungnya karena menari juga adalah passion saya, jadi saya cukup excited dalam mengerjakannya. Tentunya, jadi bos dari usaha sendiri sangat berbeda dengan jadi pegawai. Kalau dulu waktu saya kerja sama orang, saya hanya menjalankan jobdesc saja atau apa yang disuruh, saya enggak peduli perusahaan untung apa kagak, yang penting saya gajian. Sekarang saya harus memikirkan apa-apa sendiri. Mikirin gimana bisa untung, dan lain- lain. Tapi meskipun saya sudah switch career jadi owner studio, bukan berarti saya enggak meneruskan passion saya di bidang tulisan. Saya sebisa mungkin untuk nulis secara rutin di blog. Kalau ada pekerjaan menulis pun, akan saya lakukan. Bersyukur sih kalau saya bisa menjalani passion-passion saya, baik di bidang nulis maupun menari.

Apa saran Anda bagi orang lain yang ingin beralih karir dan memulai bisnis mereka sendiri?

Saya baru ngerti sekarang kenapa pengusaha yang sudah sukses selalu nyaranin “mulai dulu aja” “Sebuah ide yang baik adalah ide yang dijalankan, bukan hanya dipikirkan”, dan lain-lain. Karena memang cara terbaik untuk memulai usaha adalah dengan mulai dulu. Kamu tidak akan pernah tahu hasilnya akan seperti apa kalau kamu enggak memulainya dulu. Kerjain apa yang bisa kamu kerjain, kerahkan semua skill yang tersimpan dalam diri kamu dan banyak bertanya juga sama orang yang sudah lebih berpengalaman. Kalau takut, just do it step by step. Jangan langsung berharap untung yang banyak, atau hasil yang signifikan di awal usaha, karena semua butuh proses dan waktu. Pelan-pelan aja bikin usaha kamu lebih besar, lebih stabil, nanti untung pasti akan mengikuti. Ingat juga, usaha tidak akan mengkhianati hasil.